Di Dalam Gerbong
Ayah dan ibu Dhea dulunya juga
pengamen di dalam kereta, hingga akhirnya mereka berkeluarga dan
mempunyai anak, mereka tetap mengamen karena hanya inilah yang mereka
bias. Maklum ayah dan ibu Dhea tidak lulus sekolah dasar, sehingga
mereka tidak punya keterampilan apa pun yang bisa dijadikan modal untuk
mencari pekerjaan.
Terbiasa dibawa orang tuanya
mengamen di dalam kereta, karena alasan bila membawa anak kecil
pendapatan menjadi lebih besar, membuat pekerjaan ini seperti telah
mendarah daging dalam diri Dhea dan saudara-saudaranya, tanpa disuruh
apalagi dipaksa untuk mengamen, Dhea dengan senang hati menawarkan
dirinya untuk mengamen sendiri membantu keluarganya, saudaranya yang
lain pun begitu. Terhitung sejak masuk sekolah dasar, Dhea dan
saudara-saudaranya sudah dilepas orang tuanya untuk mengamen sendiri di
dalam kereta, dimulai dari Stasiun Kereta Cilebut, Stasiun Kereta Bogor
hingga Stasiun Kereta Manggarai lalu kembali lagi ke Stasiun Kereta
Cilebut, istirahat sebentar kemudianmengulang kembali rute tersebut
sampai kereta terakhir dari Stasiun Kereta Bogor menuju Jakarta yang
singgah di Stasiun Kereta Cilebut pada pukul 21.00 WIB barulah Dhea bisa
beristirahat.
Sekarang ini orang tua Dhea tidak lagi
mengamen di dalam kereta, mereka sudah punya sebuah warung kecil di
peron Stasiun Kereta Cilebut, yang modalnya juga didapatkan dari hasil
mengamen keluarganya selama bertahun-tahun yang ditabung sedikit demi
sedikit. Terkadang orang tua Dhea masih mengamen, tapi bukan di dalam
kereta lagi, melainkan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.
Bersama anak-anaknya mereka berangkat dari rumahnya di Cilebut
mengendarai motor sampai Pasar Induk pada pagi-pagi buta pukul 02.00
WIB. Tapi untuk pekerjaan yang satu ini, biasanya hanya mereka jalankan
satu kali seminggu, selebihnya mereka menjaga warung dan hanya mengawasi
anak-anak turun-naik kereta untuk mengamen.
Tidak tahu kenapa, tapi
sepertinya orang tua Dhea tidak khawatir anak-anaknya suatu waktu akan
tertimpa kemalangan yang buruk dikarenakan pengawasan yang minim selama
anak-anaknya mengamen hingga jauh ke Manggarai, padahal mereka sendiri
tahu Dhea dan adiknya, Dhita, pernah dua kali dipreteli perhiasannya dan
diambil uang hasil mengamennya oleh orang jahat berjilbab yang
berpura-pura baik hati menawarkan makan siang. Dhea sendiri dan
saudara-saudaranya juga terkesan tak mau ambil pusing dengan kejadian
yang pernah menimpanya itu, padahal anak-anak jalanan seperti Dhea dan
saudara-saudaranya merupakan ladang yang subur untuk kejahatan.
Dhea dan Amplop-amplop Angpaunya
Dhea sedang membagikan amplop yang
digunakan sebagai wadah untuk tempat menaruh uang pemberian para
penumpang kereta kepadanya. Amplop-amplop ini di depannya sudah ditulisi
kata-kata yang dapat membangkitkan simpati penumpang kereta
terhadapnya, sehingga mereka tidak segan mengeluarkan uang untuknya.
Berebut Rezeki
Tidak hanya Dhea yang menggantungkan
mata pencahariannya dari gerbong ke gerbong di dalam kereta. Ada ratusan
pedagang dan pengamen lainnya yang juga mencari nafkah di sini.
Walaupun rezeki sudah ditentukan oleh Tuhan, tak dipungkiri di sini
setiap harinya terjadi perebutan rezeki karena terlalu banyaknya yang
menggantungkan penghidupannya di dalam gerbong kereta.
Ketika ditanya mau sampai kapan
terus mengamen di dalam kereta, Dhea menjawab, "gak tau.." dengan
pandangan yang kosong. Hanya kakaknya yang pertama dan yang kedua yang
sudah berhenti mengamen. Yang pertama karena sudah menikah dan dilarang
suaminya untuk mengamen lagi, sedangkan yang kedua berhenti mengamen
karena katanya malu sudah besar masih saja mengamen dan akhirnya memilih
untuk berdagang minuman saja di kereta. Dhea dan dua saudaranya yang
lain masih setia mengamen stereo di dalam kereta. Mungkin dikarenakan
keluarga Dhea sudah merasa bahwa dari pekerjaan inilah mereka dapat
hidup, sehingga sulit bagi mereka melepaskan pekerjaan ini.
Dhea dengan Mainannya
Walaupun setiap harinya Dhea harus
mengamen untuk membantu kehidupan keluarganya, namun pada hakikatnya
Dhea tetaplah seorang anak berumur 11 tahun yang masih suka bermain.
Maka dengan pendapatannya dari mengamen stereo di kereta, Dhea bisa
meminta dibelikan apa saja kepada orang tuanya, termasuk sebuah otopet
mainan yang dibeli dari hasil mengamennya, tempat bermainnya pun tak
jauh-jauh dari lokasi pencarian nafkahnya, stasiun kereta.
Untuk pendapatan, setiap harinya
dari Dhea saja biasanya dapat menghasilkan Rp 20,000,- s/d Rp 50,000,-.
Belum lagi dari dua saudara Dhea lainnya. Uang hasil mengamen ini
mereka berikan seutuhnya kepada orangtuanya untuk nantinya dipakai
membayar sekolah, membeli buku pelajaran, jajan dan kebutuhan hidup
mereka lainnya. Walaupun terkesan sulit, tapi ternyata hidup mereka
tidak benar-benar sesulit yang kita bayangkan, terbukti dari
barang-barang yang mereka miliki dari hasil mengamen ini, seperti motor,
mainan baru, telepon genggam sampai rumah. Pantas mereka tidak mau
melepas pekerjaan ini. Inilah pilihan hidup mereka sendiri, dengan Dhea
di dalamnya.
Sumber : lavandawirianata.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar