Indonesia
merupakan Negara, dimana mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam.
Namun demikian, perkembangan produk-produk dengan prinsip syariah baru
berkembang kurang lebih 3-4 tahun yang lalu, salah satunya adalah produk
asuransi syariah.
Setelah itu, asuransi berbasis syariah mulai
digarap oleh beberapa perusahaan dengan pendirian divisi syariah. Dengan terus
berkembangnya produk-produk berbasis syariah, maka kami melihat pentingnya
untuk memperkenalkan secara khusus produk asuransi syariah.
Sebelum masuk prinsip-prinsip dan mekanisme
produk tersebut, banyak kalangan muslim yang beranggapan bahwa berasuransi
adalah haram. Apakah benar? Ikut pembahasannya dibawah ini.
Asuransi Tidak Islami?
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama
dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya
Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir
Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan
untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari
esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
Jelas sekali dalam ayat ini kita dipertintahkan untuk
merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.
Dalam Al Qur’an, surat
Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem
proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk dimasa depan. Secara ringkas, ayat
ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf.
Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan
oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang
hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam
tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.
Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha
menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi
yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak
bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju
kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam
mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan,
pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang
(asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat
secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa,
paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya
unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba
(bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai
perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.
Asuransi Konvensional Dan Syariah
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional
mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko
asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada
perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah
menganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi
jiwa (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan
cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi
jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi
Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan
asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :
Kontrak
Atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak
jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan
karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan
kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut
gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran
harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum
Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan
bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli).
Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak
tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini
adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik
yang diharamkan pada asuransi konvensional.
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan
dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang
lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena
musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus,
dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana
tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong
menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan
hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi
jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau
investasi harus memenuhi syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah
cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari
para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara
dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian
si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila terjadi
keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut.
Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60
persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari
keuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu
unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal
apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan
dananya dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk
menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah dalam berinvestasi harus
menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem
al-mudharabah.
Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus,
dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan
diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional
non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis
msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan
hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak
mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan
lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah
dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika
habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan
sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30
sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin
premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat
bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.
Manfaat Asuransi Syariah
FILOSOFIS ISLAM
filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas empat hal,
yaitu : Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan
kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya,
termasuk mekanisme perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk
ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT
secara total.Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Kemudian
Yang ketiga adalah kebebasan. hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya.
Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia harus memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambilnya.
Sumber : Gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar